Criminal Profiling dan Psychological Autopsy
Oleh Margaretha, Dosen Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Usaha Psikologi Forensik membantu proses hukum dan peradilan dapat terjadi sejak proses penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan adalah tahapan hukum dimana usaha-usaha dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu kejahatan serta menentukan apakah perlu dilakukan usaha penyidikan untuk mencari korban dan pelaku; sedangkan penyidikan adalah usaha-usaha mencari bukti untuk menentukan tersangka pelaku kejahatan. Dalam kedua tahapan ini setidaknya ada 2 proses yang dapat dilakukan seorang ahli Psikologi, yaitu: pembuatan profil kriminal (criminal profiling) dan autopsi psikologis (psychological autopsy).
Pembuatan profil kriminal
Penyusunan profil kriminal dalam Ilmu Psikologi, adalah usaha penyimpulan ciri-ciri deskriptif dari pelaku kejahatan yang belum/tidak teridentifikasi dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu psikologi dan perilaku manusia. Usaha ilmiah psikologi membuat penyusunan profil psikologis seorang pelaku kejahatan menjadi suatu proses sistematis, berdasarkan bukti empiris dan melakukan evaluasi obyektif. Hal ini dilakukan untuk membantu penegak hukum untuk secara akurat memprediksi perilaku kriminal, mengidentifikasi dan mendukung proses penangkapan, serta memfasilitasi cara berinteraksi dengan tersangka kelak. Holmes dan Holmes (2008) menguraikan tiga tujuan utama dari profil kriminal: 1) menyediakan penegak hukum data hasil pemeriksaan sosial dan psikologis pelaku; 2) menyediakan penegak hukum evaluasi psikologis pelaku kejahatan; dan 3) memberikan saran dan strategi untuk proses wawancara dengan pelaku.
Penyusunan profil karakteristik pelaku kriminal sering juga dikenal sebagai profil kepribadian kriminal atau analisis investigasi kriminal. Dalam profil kriminal akan digambarkan mengenai pembawaan personal, kecenderungan, kebiasaan, serta karakteristik geografis-demografis pelaku kejahatan (misalkan: usia, jenis kelamin, status sosio-ekonomi, pendidikan, asal tempat tinggal). Penyusunan profil kriminal akan berkaitan dengan analisa bukti fisik yang ditemukan di tempat kejadian kejahatan, proses penggalian pemahaman mengenai korban (victimology), mencari modus operandi (apakah peristiwa kejahatan terencana atau tidak terencana), serta proses pencarian jejak pelaku kejahatan yang sengaja ditinggalkan (signature).
Satu hal yang penting dilakukan dalam penyusunan profil kriminal adalah menganalisa korban untuk mengetahui karakteristik pelaku kejahatan. Dari kondisi korban dan tempat perkara, seorang profiler dapat menyusun hipotesa mengenai relasi antara pelaku dan korban, contohnya: dari luka di tubuh korban profiler dapat mengembangkan asumsi apa motif dan relasi pelaku dengan korban. Dalam terminologi Psikodinamika, kondisi korban adalah proyeksi hubungan antara pelaku dan korban.
Proses penyusunan profil kriminal dapat dilihat sebagai proses terbalik dari proses diagnosa klinis. Dimana dalam proses penyusunan profil kriminal banyak menggunakan insight mengenai kepribadian pelaku kejahatan, lalu baru diikuti dengan ahli psikologi akan menghadirkan bukti-bukti perilaku untuk menggambarkan individu yang belum diketahui. Sedangkan dalam proses penyusunan diagnosa klinis, ahli psikologi hanya dapat membuat asumsi dan uraian mengenai perilaku seseorang setelah mengumpulkan bukti empiris perilaku individu yang didapat dari pengukuran psikologis.
Lebih lanjut, secara umum dalam profil kriminal mencoba menguraikan tentang penyebab munculnya perilaku kejahatan oleh pelaku (ide atau fantasi apa yang menyebabkan ia melakukan kejahatan tertentu). Profil kriminal juga akan menjelaskan metode dan cara melakukan kejahatan (bagaimana cara memilih korban, bagaimana cara ia melakukan kejahatan, serta apakah pelaku berusaha menghilangkan jejak atau alat bukti kejahatannya). Terakhir, profil kriminal juga akan mencoba menjelaskan perilaku pelaku kejahatan setelah peristiwa kejahatan (apakah ia akan mengulangi kembali perilaku kejahatannya atau akankah ia merespon media massa atau penegak hukum).
Otopsi Psikologis
Pemeriksaan jenazah (post-mortem) dikenal sebagai otopsi. Jika otopsi koroner medis berfokus pada pemeriksaan fisik jenazah, maka otopsi psikologis pada dasarnya adalah pemeriksaan keadaan mental jenazah. Otopsi psikologis, akan mengulas apa yang dialami seseorang sehingga mengalami kematian atau terlibat dalam suatu peristiwa kejahatan. Alasan kuat dilakukannya otopsi psikologis adalah untuk membantu dalam menentukan sifat kematian, apakah kematian disebabkan faktor alamiah, bunuh diri, kecelakaan atau pembunuhan. Otopsi psikologis dapat membantu mengatasi ambiguitas ini dan menentukan penyebab kematian dari penelusuran kehidupan dan kondisi psikologis almarhum sebelum kematiannya.
Dalam konteks penyelidikan forensik, otopsi psikologi akan melakukan pengumpulan data psikologis almarhum. Sumber yang paling umum adalah data wawancara yang diperoleh dari keluarga dan teman-teman almarhum, mengumpulan sejarah medis dan catatan medis, dan sejumlah data-data penting dari kehidupan almarhum. Beberapa informasi yang dikumpulkan biasanya meliputi: informasi biografis (umur, status perkawinan, pekerjaan); informasi pribadi (hubungan, gaya hidup, penggunaan alkohol/narkoba, sumber stres); serta informasi sekunder (riwayat keluarga, catatan polisi, buku harian).
Sekali lagi proses otopsi psikologis akan menggunakan proses ilmiah dan sistematis. Hasil pengumpulan data akan dianalisis, untuk mendapatkan pemahaman logis dari hubungan antara berbagai peristiwa yang dialami almarhum sebelum kematian, faktor-faktor personal, serta faktor-faktor eksternal. Contohnya: untuk mengetahui apakah seseorang sungguh mengalami kematian disebabkan bunuh diri, maka ahli otopsi psikologis akan mengumpulkan data diari pribadi, pesan terakhir (biasanya orang yang akan bunuh diri akan memberikan pesan terakhir bagi keluarga yang ditinggalkan), stressor dan periode depresi, atau usaha minta pertolongan; kealpaan komponen-komponen tersebut membuat indikasi bunuh diri menjadi kabur.
Hubungan Psikologi dan Hukum dalam mencari titik terang kasus kejahatan
Usaha penyusunan profil psikologis kriminal pelaku kejahatan dan otopsi psikologis korban kejahatan selama ini belum menjadi fokus utama proses penegakan hukum. Di Indonesia, penyusunan profil kriminal biasa dilakukan oleh penegak hukum, belum tentu dilakukan oleh seorang Ahli Psikologi atau Perilaku. Oleh karena itu banyak ditemukan problem metodologis mengenai pengambilan hipotesa dan simpulan. Banyak simpulan diperoleh melalui intuisi dan kekurangan dasar-dasar obyektivitas dan keilmiahan.
Saat ini, beberapa ahli psikologi forensik baru dilibatkan dalam penyusunan profil psikologis hanya pada beberapa kasus besar yang kompleks. Hal ini terjadi karena hubungan antara Psikologi dan Hukum yang belum selaras. Kontribusi ilmu psikologi dalam bidang hukum (psychology in law) hanya akan optimal terjadi, jika bidang Hukum memahami kontribusi penting ilmu psikologi dalam proses hukum dan peradilan. Dengan demikian, sikap terbuka dan keinginan bekerjasama dari penegak hukum untuk menjalin interaksi dengan ahli psikologi dapat terjadi dengan sinergis. Dan sebaliknya, ahli psikologi juga perlu memahami proses dan terminologi penegakan hukum secara mendalam. Hal ini diperlukan agar baik ahli psikologi dan penegak hukum dapat berkomunikasi dan bekerjasama; hingga pada akhirnya ahli psikologi dapat menunjukkan kontribusi optimalnya dalam usaha menyelesaikan persoalan kejahatan.
Proses latihan penyusunan profil kriminal pelaku kejahatan dan otopsi psikologis korban kejahatan juga perlu dipertimbangkan dalam upaya kerjasama antara psikologi dan penegak hukum, karena keahlian psikologis juga perlu dibangun dari pengalaman dan latihan kasus-kasus kejahatan. Komunikasi dan kerjasama antara penegak hukum dan ahli psikologi forensik mutlak perlu dikembangkan untuk mencari titik terang kasus kejahatan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar